Senin, 20 Desember 2010

MANUSIA DAN TANGGUNG JAWAB

Tanggung jawab menurut kamus besar Bahasa Indonesia W. J. S. Poerwadarminta adalah “keadaan wajib menanggung segala sesuatunya” artinya jika ada sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya. Tanggung jawab ini pula memiliki arti yang lebih jauh bila memakai imbuhan, contohnya ber-, bertanggung jawab dalam kamus tersebut diartikan dengan “suatu sikap seseorang yang secara sadar dan berani mau mengakui apa yang dilakukan, kemudian ia berani memikul segala resikonya”. Dalam artian lain, tanggung jawab meminjam istilahnya Bung Hatta adalah integritas individual.


Perlu menjadi perhatian utama, adalah bagaimana membentuk pola pikir anak agar pada suatu saatnya nanti mampu memiliki integritas – tanggung jawab – baik itu secara pribadi maupun dalam kehidupan kolektif, sebagaimana hal itu tercantum dalam definisi di atas. Dengan kata lain, tanggung jawab yang dimaksudkan disini adalah suatu investasi yang tak ternilai harganya, yang ditanamkan pada seorang anak demi masa depannya kelak. Dan penanaman tanggung jawab itu sendiri hanya dapat tercapai jika dijalani lewat proses pendidikan. Pendidikan disini bukanlah pendidikan sebagaimana pandangan konvensional yang mengatakan bahwa mendidik adalah urusan sekolah (institusi). Akan tetapi pendidikan yang saya maksudkan adalah pendidikan yang sebenar-benar pendidikan, yaitu pendidikan yang dilalui sepanjang hayat, yang dilakukan oleh orang tua semenjak kehadiran anak didunia, melalui transmisi kasih sayang, kepedulian, kepercayaan, emphati dan kesinambungan serta pengarahan secara spiritual.


Dengan demikian Humanisasi menjadi kenyataan, yaitu penciptaan iklim mendidik anak untuk menjadi manusia yang berbudi, memiliki jiwa, merdeka, mampu menghargai dirinya, dan mampu pula untuk memaknai akan makna penciptaannya didunia. Artinya pendidikan yang dimaksudkan disini tak lain merupakan suatu upaya memanusiakan manusia, dan tanggung jawab merupakan salah satu indikator keberhasilannya.


Memulai Dari Dalam Baru Keluar


Berbicara cara, maka kita memasuki wilayah epistemologis, tentang bagaimana sesuatu itu memiliki metode, cara dan bagaimana proses dari bentuk itu bekerja. Tanggung jawab yang menjadi indikator keberhasilan dari proses pendidikan disini, tentunya tak terlepas dari kesadaran kita untuk mencoba memaknai wilayah ontologisnya terlebih dahulu sebelum bermuara pada tataran aksiologisnya – bagaimana hasil atau manfaatnya?.


Dengan kesungguhan dan kerja keras dari orang tua dalam menanamkan terlebih memberikan contoh tanggung jawab, bukan tidak mungkin proses yang terikat pada waktu pada akhirnya bermuara pada kebahagiaan, baik itu kebahagiaan orang tuanya maupun anaknya sendiri. Ada beberapa contoh konsep yang patut diterapkan didalam memaknai dan mengimplementasikan bagaimana menanamkan tanggung jawab sekaligus bagaimana membuat model tanggung jawab itu sendiri bagi anak.


Pertama adalah memulai dari dalam – jadilah tindakan itu sendiri dan jangan jadi sasaran tindalan. Konsep ini dicetuskan oleh maestro 7 Habbits Of Highly Effective People. Maksudnya, adalah bahwa orang tua selaku komponen yang paling vital dalam hal ini, dituntut bertindak terlebih dahulu sebelum menuntut sesuatu dari anak. Memulai dari dalam sebelum keluar, adalah membersikan diri terlebih dahulu sebelum membersihkan hal yang berada diluar, menanamkan tanggung jawab, mengiklaskan hati, dan menjadikan model dirinya bagi anak-anaknya. Sebab menurut satu penelitian, bahwa kekuatan yang terpancar secara kuat dari dasar hati, akan memberikan energi positif, dalam hal ini kepada anak-anaknya. Contohnya adalah paradgima, jika paradigma orang tua berubah dari tidak percaya kepada anak, menjadi percaya dan mampu memberikan pengakuan bahwa seorang anak itu memiliki harga dalam hidup, maka niscaya anak tersebut akan ebrbuat sebagaimana paradigma tersebut. hal ini dibuktikan Covey kepada anaknya, dari semula berpandangan negatif menjadi energi positif berupa kepercayaan. Walhasil banyak hal spektakuler yang dilakukan anaknya (padahal konon anak tersebut sebelumnya memilki latar belakang sosial yang sangat miskin).


Kedua adalah mengubah konsep kebergantungan menuju kemandirian. Konsep ini secara implisit dipraktekan Rasul baik itu kepada anak-anaknya maupun kepada cucu-cucunya. Ketika Rasul beraktifitas dalam Da’wah kasih sayangnya selalu tercurah kepada cucu-cucu maupun kepada anaknya. Ia begitu menyayangi anak-anak, sampai-sampai Fathimah putrinya, selalu ia bela dan ia sanjung-sanjung di depan orang, demikian pula dengan Husein cucunya, bahkan ia selalu menggendongnya dalam sholat. Akan tetapi semua unsur kasih sayang tersebut, tidak membuat Rasul lupa, bahwa keadilan harus tetap menjadi pendidikan utama bagi perkembangan jiwa anak. Hal ini dibuktikannya ketika ia berkata, jika putriku sendiri yang mencuri maka akulah orang pertama yang akan memotong tangannya. Dari hal ini terpancar kearifan jiwa Rasul, ia begitu menyayangi anak-anak, dengan cara menanamkan mereka kemandirian bukan kemanjaan yang tak beralasan.


Oleh karena itu, investasi terbesar dari orang tua bagi mereka adalah kepercayaan, harga diri, tanggung jawab, respect, nilai-nilai budaya dan spiritual serta rasa memiliki diri sendiri. Ibarat busur, mereka adalah panah yang jauh melesat ke masa depan. Siapkan pendidikan yang tepat bagi mereka[]


sumber :http://rinilestari.multiply.com/journal/item/6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar